BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Tindakan ekstraksi gigi merupakan suatu tindakan yang sehari-hari
kita lakukan sebagai dokter gigi. Walaupun demikian tidak jarang kita temukan
komplikasi dari tindakan ekstraksi gigi yang kita lakukan. Karenanya kita perlu
waspada dan diharapkan mampu mengatasi kemungkinan-kemungkinan komplikasi yang
dapat terjadi. (1)
Pencabutan gigi, merupakan suatu tindakan pembedahan yang melibatkan
jaringan tulang dan jaringan lunak dari rongga mulut, tindakan tersebut
dibatasi oleh bibir dan pipi dan terdapat faktor yang dapat mempersulit dengan
adanya gerakan dari lidah dan rahang bawah. (2)
Terdapat pula hal yang dapat membahayakan tindakan tersebut yaitu
adanya hubungan antara rongga mulut dengan pharynk, larynx dan oeshophagus.
Lebih lanjut daerah mulut selalu dibasahi oleh saliva dimana terdapat berbagai
macam jenis mikroorganisme yang terdapat pada tubuh manusia. (2)
Tindakan pencabutan gigi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan
bahaya bagi penderita, dasar pembedahan harus dipahami, walaupun sebagian besar
tindakan pencabutan gigi dapat dilakukan ditempat praktek. Beberapa kasus perlu
penanganan di rumah sakit oleh karena ada pertimbangan kondisi sistemetik
penderita. Tindakan dengan teknik yang cermat dengan didasari pengetahuan serta
ketrampilan merupakan faktor yang utama dalam melakukan tindakan pencabutan
gigi. Jaringan hidup harus ditangani dengan hati-hati, tindakan yang kasar
dalam penanganan akan mengakibatkan kerusakan atau bahkan kematian jaringan. (2)
Pencabutan gigi dapat dilakukan bilamana keadaan lokal maupun
keadaan umum penderita (physical status) dalam keadaan yang sehat. Kemungkinan
terjadi suatu komplikasi yang serius setelah pencabutan, mungkin saja dapat
terjadi walaupun hanya dilakukan pencabutan pada satu gigi. (2)
Pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan sebuah gigi atau akar
gigi yang utuh tanpa menimbulakan rasa sakit dengan trauma sekecil mungkin pada
jaringan penyangganya sehingga bekas pencabutan akan sembuh secara normal dan
tidak menimbulkan problema prostetik pasca bedah. (3)
Pencabutan gigi pertama kali dilakukan hanya dengan menggunakan
tang. Oleh karena timbulnya berbagai macam masalah dalam prosedur pencabutan
gigi yang menyebabkan gigi tersebut sulit untuk dicabut/dikeluarkan bila hanya
menggunakan tang saja maka kemudian dilakukan pembedahan. (3)
Pencabutan gigi dengan pembedahan harus dilakukan apabila pencabutan
dengan tang tidak mungkin dilakukan, gagal atau apabila gigi
impaksi (terpendam). Baik untuk pencabutan gigi erupsi yang menimbulkan
masalah, atau impaksi molar ketiga, prinsip-prinsip pembedahan biasanya relatif
serupa. Diawali dengan pembuatan flap untuk mencapai jalan masuk ke tulang
rahang, kemudian jalan masuk ke gigi dicapai dengan mengasah tulang secara
konservatif. Akhirnya, jalan masuk yang tidak terhalang diperoleh dengan
pengasahan kembali ketulang atau lebih baik dengan memotong gigi secara
terencana. Pada akhir prosedur ini jaringan lunak dikembalikan ke tempatnya dan
distabilkan dengan jahitan. . (3)
Pembedahan tidak boleh dilakukan secara sembarangan oleh karena
dapat menimbulkan efek samping/komplikasi yang tidak diinginkan, misalkan
perdarahan, edema, trismus, dry soket dan masih banyak lagi. Dokter gigi harus
mengusahakan agar setiap pencabutan gigi yang ia lakukan merupakan suatu
tindakan yang ideal, dan dalam rangka untuk mencapai tujuan itu ia harus
menyesuaikan tekniknya untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dan komplikasi yang
mungkin timbul akibat pencabutan dari tiap-tiap gigi. (3)
Untuk itulah pengetahuan yang mendalam tentang teknik-teknik
pencabutan mutlak diperlukan dalam melakukan tindakan pencabutan khususnya
dengan jalan pembedahan, agar dapat mencegah atau mengurangi terjadinya efek
samping/komplikasi yang tidak kita inginkan. Di samping itu, perawatan
pasca-pembedahan juga merupakan suatu hal yang penting agar prosedur
pencabutan gigi yang dilakukan berhasil dengan baik dan
sempurna. (3)
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka
rumusan masalah penelitian yaitu apakah Prevalensi Pencabutan Gigi di bagian
Bedah Mulut Unhas periode 2005-2009 meningkat?
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk
mengetahui prevalensi Pencabutan Gigi di bagian Bedah Mulut Unhas periode
2005-2009 berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, dan Jenis Giginya.
I.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat
praktis dari penelitian ini adalah diharapkan mendapat gambaran mengenai
prevalensi pencabutan gigi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut FKG Universitas
Hasanuddin
2. Manfaat
bagi penulis adalah untuk mendapatkan pengalaman meneliti dan menambah wawasan
serta pengetahuan tentang prevalensi Pencabuta Gigi di RSGM Unhas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Pencabutan Gigi (4,5.6.7.16)
Pencabutan gigi merupakan suatu proses pengeluaran
gigi dari alveolus, dimana pada gigi tersebut sudah tidak dapat dilakukan
perawatan lagi. Pencabutan gigi juga merupakan operasi bedah yang melibatkan
jaringan bergerak dan jaringan lunak dari rongga mulut, akses yang dibatasi
oleh bibir dan pipi, dan selanjutnya dihubungkan/disatukan oleh gerakan lidah
dan rahang. Definisi pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa
sakit satu gigi utuh atau akar gigi dengan trauma minimal terhadap jaringan
pendukung gigi, sehingga bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan
tidak terdapat masalah prostetik di masa mendatang. (4)
Pencabutan gigi merupakan tindakan yang sangat
komplek yang melibatkan struktur tulang, jaringan lunak dalam rongga mulut
serta keselurahan bagian tubuh. Pada tindakan pencabutan gigi perlu
dilaksanakan prinsip-prinsip keadaan suci hama (asepsis) dan prinsip-prinsip
pembedahan (surgery). Untuk pencabutan lebih dari satu gigi secara bersamaan
tergantung pada keadaan umum penderita serta keadaan infeksi yang ada ataupun
yang mungkin akan terjadi. (5)
Ekstraksi gigi adalah suatu tindakan bedah
pencabutan gigi dari socket gigi dengan alat-alat ekstraksi (forceps). Kesatuan
dari jaringan lunak dan jaringan keras gigi dalam cavum oris dapat mengalami
kerusakan yang menyebabkan adanya jalur terbuka untuk terjadinya infeksi yang
menyebabkan komplikasi dalam penyembuhan dari luka ekstraksi. Oleh karena itu
tindakan aseptic merupakan aturan perintah dalam bedah mulut. (6)
Selalu diingat bahwa gigi bukanlah “ditarik”
melainkan dicabut dengan hati-hati. Hal ini merupakan prosedur pembedahan dan
etika bedah yang harus diikuti guna mencegah komplikasi serius (fraktur tulang/gigi,
perdarahan, infeksi). Gigi geligi memang banyak namun masing-masing gigi
merupakan struktur individual yang penting, dan masing-masing harus dipelihara
sedapat mungkin. Tujuan dari ekstraksi gigi harus diambil untuk alasan
terapeutik atau kuratif. (7)

Gambar 1:
pencabutan gigi (16)
II.I.1.
Pencabutan Intra Alveolar (18,19,20,21)
Pencabutan intra alveolar adalah pencabutan gigi
atau akar gigi dengan menggunakan tang atau bein atau dengan kedua alat
tersebut. Metode ini sering juga di sebut forceps extraction dan merupakan
metode yang biasa dilakukan pada sebagian besar kasus pencabutan gigi. (18,21)
Dalam metode ini, blade atau instrument yaitu tang
atau bein ditekan masuk ke dalam ligamentum periodontal diantara akar gigi
dengan dinding tulang alveolar. Bila akar telah berpegang kuat oleh tang,
dilakukan gerakan kea rah buko-lingual atau buko-palatal dengan maksud
menggerakkan gigi dari socketnya. Gerakan rotasi kemudian dilakukan setelah
dirasakan gigi agak goyang. Tekanan dan gerakan yang dilakukan haruslah merata
dan terkontrol sehingga fraktur gigi dapat dihindari. (19,20)
II.I.2.
Pencabutan Trans Alveolar (18,21,22)
Pada beberapa kasus terutama pada gigi impaksi,
pencabutan dengan metode intra alveolar sering kali mengalami kegagalan
sehingga perlu dilakukan pencabutan dengan metode trans alveolar. Metode
pencabutan ini dilakukan dengan terlebih dahulu mengambil sebagian tulang
penyangga gigi. Metode ini juga sering disebut metode terbuka atau metode
surgical yang digunakan pada kasus-kasus:
-
Gigi tidak dapat
dicabut dengan menggunakan metode intra alveolar
-
Gigi yang mengalami
hypersementosis atau ankylosis
-
Gigi yang mengalami
germinasi atau dilacerasi
-
Sisa akar yang tidak
dapat dipegang dengan tang atau dikeluarkan dengan bein, terutama sisa akar
yang berhubungan dengan sinus maxillaris.
Perencanaan dalam setiap tahap dari metode trans
alveolar harus dibuat secermat mungkin untuk menghindari kemungkinan yang tidak
diinginkan. Masing-masing kasus membutuhkan perencanaan yang berbeda yang
disesuaikan dengan keadaan dari setiap kasus.
Secara garis besarnya, komponen penting dalam
perencanaan adalah bentuk flap mukoperiostal, cara yang digunakan untuk
mengeluarkan gigi atau akar gigi dari socketnya, seberapa banyak pengambilan
tulang yang diperlukan.
II.2. Indikasi dan
Kontraindikasi Pencabutan Gigi (8,9,4)
II.2.1.
Indikasi Pencabutan Gigi (8,9)
Gigi mungkin perlu di cabut untuk berbagai alasan,
misalnya karena sakit gigi itu sendiri, sakit pada gigi yang mempengaruhi
jaringan di sekitarnya, atau letak gigi yang salah. Di bawah ini adalah
beberapa contoh indikasi dari pencabutan gigi: (8)
a.
Karies
yang parah (9)
Alasan paling umum dan yang dapat
diterima secara luas untuk pencabutan gigi adalah karies yang tidak dapat dihilangkan.
Sejauh ini gigi yang karies merupakan alasan yang tepat bagi dokter gigi dan
pasien untuk dilakukan tindakan pencabutan.
b.
Nekrosis
pulpa (9)
Sebagai dasar pemikiran, yang
ke-dua ini berkaitan erat dengan pencabutan gigi adalah adanya nekrosis pulpa
atau pulpa irreversibel yang tidak diindikasikan untuk perawatan endodontik.
Mungkin dikarenakan jumlah pasien yang menurun atau perawatan endodontik
saluran akar yang berliku-liku, kalsifikasi dan tidak dapat diobati dengan
tekhnik endodontik standar. Dengan kondisi ini, perawatan endodontik yang telah
dilakukan ternyata gagal untuk menghilangkan rasa sakit sehingga diindikasikan
untuk pencabutan.
c.
Penyakit
periodontal yang parah (9)
Alasan umum untuk pencabutan gigi adalah
adanya penyakit periodontal yang parah. Jika periodontitis dewasa yang parah
telah ada selama beberapa waktu, maka akan nampak kehilangan tulang yang
berlebihan dan mobilitas gigi yang irreversibel. Dalam situasi seperti ini,
gigi yang mengalami mobilitas yang tinggi harus dicabut.
d.
Alasan
orthodontik (9)
Pasien yang akan menjalani
perawatan ortodonsi sering membutuhkan pencabutan gigi untuk memberikan ruang
untuk keselarasan gigi. Gigi yang paling sering diekstraksi adalah premolar
satu rahang atas dan bawah, tapi premolar ke-dua dan gigi insisivus juga
kadang-kadang memerlukan pencabutan dengan alasan yang sama.
e.
Gigi
yang mengalami malposisi (9)
Gigi yang mengalami malposisi dapat
diindikasikan untuk pencabutan dalam situasi yang parah. Jika gigi mengalami
trauma jaringan lunak dan tidak dapat ditangani oleh perawatan ortodonsi, gigi
tersebut harus diekstraksi. Contoh umum ini adalah molar ketiga rahang atas
yang keluar kearah bukal yang parah dan menyebabkan ulserasi dan trauma
jaringan lunak di pipi. Dalam situasi gigi yang mengalami malposisi ini dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan pencabutan.
f.
Gigi
yang retak (9)
Indikasi ini jelas untuk dilakukan
pencabutan gigi karena gigi yang telah retak. Pencabutan gigi yang retak bisa
sangat sakit dan rumit dengan tekhnik yang lebih konservatif. Bahkan prosedur restoratif
endodontik dan kompleks tidak dapat mengurangi rasa sakit akibat gigi yang
retak tersebut.
g.
Pra-prostetik
ekstraksi (9)
Kadang-kadang, gigi mengganggu
desain dan penempatan yang tepat dari peralatan prostetik seperti gigitiruan
penuh, gigitiruan sebagian lepasan atau gigitiruan cekat. Ketika hal ini
terjadi, pencabutan sangat diperlukan.
h.
Gigi
impaksi (9)
Gigi yang impaksi harus
dipertimbangkan untuk dilakukan pencabutan. Jika terdapat sebagian gigi yang
impaksi maka oklusi fungsional tidak akan optimal karena ruang yang tidak
memadai, maka harus dilakukan bedah pengangkatan gigi impaksi tersebut. Namun,
jika dalam mengeluarkan gigi yang impaksi terdapat kontraindikasi seperti pada
kasus kompromi medis, impaksi tulang penuh pada pasien yang berusia diatas 35
tahun atau pada pasien dengan usia lanjut, maka gigi impaksi tersebut dapat
dibiarkan.
i.
Supernumary
gigi (9)
Gigi yang mengalami supernumary
biasanya merupakan gigi impaksi yang harus dicabut. Gigi supernumary dapat
mengganggu erupsi gigi dan memiliki potensi untuk menyebabkan resorpsi gigi
tersebut.
j.
Gigi
yang terkait dengan lesi patologis (9)
Gigi yang terkait dengan lesi
patologis mungkin memerlukan pencabutan. Dalam beberapa situasi, gigi dapat
dipertahankan dan terapi terapi endodontik dapat dilakukan. Namun, jika
mempertahankan gigi dengan operasi lengkap pengangkatan lesi, gigi tersebut
harus dicabut.
k.
Terapi
pra-radiasi (9)
Pasien yang menerima terapi radiasi
untuk berbagai tumor oral harus memiliki pertimbangan yang serius terhadap gigi
untuk dilakukan pencabutan.
l.
Gigi
yang mengalami fraktur rahang (9)
Pasien yang mempertahankan fraktur
mandibula atau proses alveolar kadang-kadang harus merelakan giginya untuk
dicabut. Dalam sebagian besar kondisi gigi yang terlibat dalam garis fraktur
dapat dipertahankan, tetapi jika gigi terluka maka pencabutan mungkin
diperlukan untuk mencegah infeksi.
m.
Estetik
(9)
Terkadang pasien memerlukan
pencabutan gigi untuk alasan estetik. Contoh kondisi seperti ini adalah yang
berwarna karena tetracycline atau fluorosis, atau mungkin malposisi yang
berlebihan sangat menonjol. Meskipun ada tekhnik lain seperti bonding yang
dapat meringankan masalah pewarnaan dan prosedur ortodonsi atau osteotomy dapat
digunakan untuk memperbaiki tonjolan yang parah, namun pasien lebih memilih
untuk rekonstruksi ekstraksi dan prostetik.
n.
Ekonomis
(9)
Indikasi terakhir untuk pencabutan
gigi adalah faktor ekonomi. Semua indikasi untuk ekstraksi yang telah
disebutkan diatas dapat menjadi kuat jika pasien tidak mau atau tidak mampu
secara finansial untuk mendukung keputusan dalam mempertahankan gigi tersebut.
Ketidakmampuan pasien untuk membayar prosedur tersebut memungkinkan untuk
dilakukan pencabutan gigi.
II.2.2.
Kontraindikasi Pencabutan Gigi (4)
a.
Kontaindikasi
sistemik
·
Kelainan jantung
·
Kelainan darah. Pasien
yang mengidap kelainan darah seperti leukemia, haemoragic purpura, hemophilia
dan anemia
·
Diabetes melitus tidak
terkontrol sangat mempengaruhi penyembuhan luka.
·
Pasien dengan penyakit
ginjal (nephritis) pada kasus ini bila dilakukan ekstraksi gigi akan
menyebabkan keadaan akut
·
Penyakit hepar
(hepatitis).
·
Pasien dengan penyakit
syphilis, karena pada saat itu daya tahan terutama tubuh sangat rendah sehingga
mudah terjadi infeksi dan penyembuhan akan memakan waktu yang lama.
·
Alergi pada anastesi
local
·
Rahang yang baru saja
telah diradiasi, pada keadaan ini suplai darah menurun sehingga rasa sakit
hebat dan bisa fatal.
·
Toxic goiter
·
Kehamilan. pada
trimester ke-dua karena obat-obatan pada saat itu mempunyai efek rendah
terhadap janin.
·
Psychosis dan neurosis
pasien yang mempunyai mental yang tidak stabil karena dapat berpengaruh pada
saat dilakukan ekstraksi gigi
·
Terapi dengan
antikoagulan.
b.
Kontraindikasi
lokal
·
Radang akut. Keradangan
akut dengan cellulitis, terlebih dahulu keradangannya harus dikontrol untuk
mencegah penyebaran yang lebih luas. Jadi tidak boleh langsung dicabut.
·
Infeksi akut.
Pericoronitis akut, penyakit ini sering terjadi pada saat M3 RB erupsi terlebih
dahulu
·
Malignancy oral. Adanya
keganasan (kanker, tumor dll), dikhawatirkan pencabutan akan menyebabkan
pertumbuhan lebih cepat dari keganasan itu. Sehingga luka bekas ekstraksi gigi
sulit sembuh. Jadi keganasannya harus diatasi terlebih dahulu.
·
Gigi yang masih dapat
dirawat/dipertahankan dengan perawatan konservasi, endodontik dan sebagainya
II.3. Pemilihan Jenis
Anastesi (13,18)
Penyakit sistemik mungkin merupakan faktor penentu
yang mempengaruhi pemilihan anastesi. Setiap penyakit yang mengganggu efisiensi
pernapasan atau jalan napas merupakan kontra indikasi terhadap anastesi umum
pada kursi dental.
Sementara beberapa penulis menyarankan untuk tidak
memakai adrenalin dalam larutan anastesi lokal yang digunakan pada
pasien-pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler. Namun pendapat yang lazim
adalah bahwa adrenalin dalam jumlah kecil yang diberikan untuk penggunaan di
bidang gigi dalam kenyataannya menguntungkan, oleh karena adrenalin ini
menyebabkan lebih terjamin, lebih lama, dan lebih dalam anastesinya, sehingga
mengurangi jumlah adrenalin yang disekresikan oleh pasien itu sendiri sebagai
reaksinya terhadap rasa sakit dan rasa takut.
Penting bahwa setiap pencabutan atau skeling yang
dilakukan pada pasien penderita katup jantung kongenital atau penyakit katup
jantung karena reumatik harus dilakukan hanya dengan perlindungan antibiotik
yang memadai.
Pencabutan gigi pada pasien-pasien dengan
penyakit jantung yang berat harus dilakukan di rumah sakit, apapun bentuk
anastesi yang digunakan.
Jika tendensi untuk terjadinya perdarahan disebabkan
oleh adanya abnormalitas setempat seperti haemangioma, maka anastesi lokal
harus dihindarkan dan pencabutan hanya dilakukan dirumah sakit dengan
fasilitas-fasilitas hematologik yang lengkap.
Dalam hal ini, pemilihan anastetik lokal juga perlu
dipertimbangkan. Lignokain dan derivate amide aman dan efektif. Efek keracunan
dan alergi sangat jarang terjadi dan hampir tidak ada. Walaupun demikian,
lignokain relatif tidak efektif tanpa penambahan vasokonstriktor, sementara
yang lain seperti Prilokain dapat menahan rasa sakit dalam jangka waktu yang
pendek tanpa bantuan apa-apa. Vasokonstriktor seperti adrenalin dan
noradrenalin, memberikan pengaruh pada system jantung, yang lebih beracun dari
anastesi lokal itu sendiri. Noradrenalin dapat meyebabkan hipertensi yang
berbahaya, tidak memiliki keuntungan dan tidak seharusnya digunakan. Oleh
karena itu kita harus menghindari anastesi
lokal yang mengandung vasokonstriktor pada pasien penderita jantung dan
hipertensi. Karena adanya bahaya utama dari adrenalin yang jika masuk ke
sirkulasi bagian-bagian penting, dapat menyebabkan meningkatnya rangsangan
jantung dan detakan jantung.
Sekalipun saat ini prokain jarang digunakan dalam
kedokteran gigi, namun patut dicatat bahwa bahan anastesi lokal ini tidak boleh
digunakan pada pasien-pasien yang mendapat sulfonamide untuk perawatan terhadap
penyakit sistemiknya. Oleh karena obat-obatan kelompok antibakterial ini
mengandung cincin asam para aminobenzoat yang sama seperti pada prokain, yang
secara teoritis bahwa dapat menetralisir sebagian efek-efek dari yang satu
terhadap yang lainnya jika diberikan bersamaan. Sekalipun fenomena ini tidak
pernah terbukti secara klinik namun kombinasi ini sebaiknya dihindarkan.
Pasien-pasien yang memiliki riwayat hipersensitif terhadap sulfonamide tidak
boleh diberi bahan anastesi lokal yang mengandung cincin asam paraminobenzoat.
II.4. Pencabutan Khusus
Gigi Geligi (10)
II.4.1.
Insisivus
Jarang terjadi kesulitan dalam melakukan pencabutan
gigi insisivus kecuali kalau giginya berjejal, konfigurasi akar rumit, atau
gigi sudah dirawat endodontik. Gigi insisivus atas dicabut dengan menggunakan
tang #150, dengan pinch grasp dan tekanan lateral (fasial/lingual) serta
rotasional. Tekanan lateral lebih ditingkatkan pada arah fasial, sedangkan
tekanan rotasional lebih ditekankan kearah mesial. Tekanan tersebut
diindikasikan karena biasanya pembelokan ujung akar gigi-gigi insisivus adalah
kearah distal, bidang labialnya tipis dan arah pengungkitannya ke facial.
Insisivus bawah dicabut dari posisi kanan/kiri belakang dengan menggunakan tang
#150 dan sling grasp. Tekanan permulaan adalah lateral dengan penekanan kearah
facial. Ketika mobilitas pertama dirasakan, tekanan rotasional dikombinasikan
dengan lateral sangat efektif. Pengungkitan insisivus bawah dilakukan kearah
facial, dengan perkecualian insisivus yang berinklinasi lingual dan
berjejal-jejal. Untuk keadaan tersebut digunakan #74 atau #74N dari kanan/kiri
depan. Tang tersebut beradaptasi dengan baik terhadap insisivus dan digunakan
dengan gerak menggoyah perlahan. Karena insisivus bawah tidak tertanam terlalu
kuat, pengungkitan yang perlahan dan tekanan yang terkontrol akan mengurangi
kemungkinan fraktur.
II.4.2. Caninus
a.
Pencabutan
gigi caninus atas
Caninus sangat sukar dicabut.
Akarnya panjang dan tulang servikal yang menutupinya padat dan tebal. Gigi
kaninus atas dicabut dengan cara pinch grasp untuk mendeteksi awal terjadinya
ekspansi atau fraktur bidang fasial dan mengatur tekanan selama proses
pencabutan. Tang #150 dipegang dengan telapak tangan keatas merupakan perpaduan
yang sangat cocok dengan metode diatas. Ada alternative untuk gigi kaninus
atas, yaitu dengan menggunakan tang kaninus atas khusus, #1. Pegangannya lebih
panjang dan paruh tang beradaptasi lebih baik dengan akar kaninus. Apabila tang
sudah ditempatkan dengan baik pada gigi tersebut, paruh masuk cukup dalam,
dipegang pada ujung pegangan dan control tekanan cukup baik, maka tekanan
pengungkitan dapat dihantarkan. Tekanan pencabutan utama adalah ke lateral terutama
fasial, karena gigi terungkit kearah tersebut. Tekanan rotasional digunakan
untuk melengkapi tekanan lateral, biasanya dilakukan setelah terjadi sedikit
luksasi.
b.
Pencabutan
gigi kaninus bawah
Kaninus bawah dicabut dengan tang
#151, yang dipegang dengan telapak tangan ke bawah dan sling grasp. Seperti
gigi kaninus atas, akarnya panjang, sehingga memerlukan tekanan terkontrol yang
cukup kuat untuk mengekspansi alveolusnya. Selama proses pencabutan gigi ini,
tekanan yang diberikan adalah tekanan lateral fasial, karena arah pengeluaran
gigi adalah fasial. Tekanan rotasional bias juga bermanfaat.
c.
Prosedur
pembedahan (open procedure)
Didasarkan atas pertimbangan
mengenai pasien, dan kesempurnaan rencana perawatan, maka penentuan untuk
memilih atau menunda prosedur pembedahan untuk mencabut gigi-gigi kaninus
sebaiknya sudah dibicarakan sebelum pencabutan. Apabila dirasa bahwa untuk
pencabutan tersebut diperlukan tekanan tang yang besar untuk luksasi/ekspansi
alveolar, sebaiknya dilakukan prosedur pembukaan flap.
II.4.3.
Premolar
a.
Pencabutan
gigi premolar atas
Gigi premolar atas dicabut dengan
tang #150 dipegang dengan telapak keatas dan dengan pinch grasp. Premolar
pertama dicabut dengan tekanan lateral, kearah bukal yang merupakan arah
pengeluaran gigi. Karena premolar pertama atas ini sering mempunyai dua akar,
maka gerakan rotasional dihindarkan. Aplikasi tekanan yang hati-hati pada gigi
ini, dan perhatian khusus pada waktu mengeluarkan gigi, mengurangi insidens
fraktur akar. Ujung akar premolar
pertama atas yang mengarah ke palatal menyulitkan pencabutan, dan fraktur pada
gigi ini bias diperkecil dengan membatasi gerak kearah lingual. Gigi premolar
kedua biasanya mempunyai akar tunggal dan dicabut dengan cara yang sama seperti
dengan kaninus atas. Akarnya lebih pendek dan akar bukalnya lebih tipis dari
pada gigi kaninus. Tang #150 digunakan kembali dengan tekanan lateral, yaitu
bukal serta lingual. Pada waktu mengeluarkan gigi kearah bukal, digunakan
kombinasi tekanan rotasional dan oklusal.
b.
Pencabutan
gigi premolar bawah
Tekhnik pencabutan gigi premolar
bawah sangat mirip dengan pencabutan insisivus bawah. Tang #151 dipegang dengan
telapak tangan kebawah dan sling grasp. Tekanan yang terutama diperlukan adalah
lateral/bukal, tetapi akhirnya bias dikombinasikan dengan tekanan rotasi.
Pengeluaran gigi premolar bawah, adalah kearah bukal.
c.
Pencabutan
untuk tujuan ortodonsi
Pencabutan gigi premolar sering
merupakan persyaratan perawatan ortodonsi. Gigi-gigi ini biasanya diambil dari
orang muda, kadang-kadang akarnya belum sempurna atau baru saja lengkap.
Pencabutan premolar dengan hanya menggunakan tang, dengan menghindari
penggunaan elevator sangat dianjurkan. Tempat tumpuan yang minimal bagi
elevator dapat mengakibatkan luksasi yang tidak disengaja atau bahkan tercabutnya
gigi didekatnya pada pasien muda.
II.4.4.
Molar
Untuk mengekspansi alveolus pada gigi molar
diperlukan tekanan terkontrol yang besar. Kunci keberhasilan pencabutan
gigi-gigi molar adalah keterampilan menggunakan elevator untuk luksasi dan
ekspansi alveolus, sebelum menggunakan tang. Tekanan yang diperlukan untuk
mencabut molar biasanya lebih besar dari pada gigi premolar.
a.
Pencabutan
gigi molar atas
Gigi molar atas dicabut dengan
menggunakan tang #150, #53 atau #210, dipegang dengan telapak tangan ke atas
dan pinch grasp.apabila ukuran mahkotanya cocok, lebih sering dipakai #53
daripada #150, karena adaptasi akar lebih baik dengan paruh anatomi. Tang #210
walaupun ideal untuk pencabutan molar ketiga atas, dianggap universal dan dapat
digunakan untuk mencabut molar pertama dan kedua kanan dan kiri atas. Tekanan
pencabutan utama adalah kea rah bukal, yaitu arah pengeluaran gigi.
b.
Pencabutan
gigi molar bawah
Tang yang digunakan untuk
pencabutan gigi molar bawah adalah #151, #23, #222. Tang #151 mempunyai
kekurangan yang sama dengan #150 atas bila digunakan untuk pencabutan molar,
yaitu paruh tangnya sempit sehingga menghalangi adaptasi anatomi yang baik
terhadap akar. Tang #17 bawah mempunyai paruh yang lebih lebar, yang didesain
untuk memegang bifurkasi dan merupakan pilihan yang baik bila mahkotanya cocok.
Tang #23 (cowhorn) penggunaanya berbeda dengan tang mandibula yang lain, dalam
hal tekanan mencengkram yang dilakukan sepanjang proses pencabutan. Tekanan ini
dikombinasikan dengan tekanan lateral, yaitu kearah bukal dan lingual, akan
menyebabkan terungkitnya bifurkasi molar bawah dari alveolus, atau fraktur pada
bifurkasi. Tang #222, seperti tang #210 maksila, adalah spesifik untuk molar
ketiga, tetapi sering digunakan pula untuk pencabutan gigi M1 dan M2. Tekanan
lateral permulaan untuk pencabutan gigi molar adalah kearah lingual. Tulang
bukal yang tebal menghalangi gerakan ke bukal dan pada awal pencabutan gerak
ini hanya mengimbangi tekanan lingual yang lebih efektif. Gigi molar sering
dikeluarkan kearah lingual.
II.4.5.
Gigi susu
Gigi susu dicabut menggunakan tang #150 atau #151
(#150S atau #151S). Gigi molar susu atas mempunyai akar yang memancar, yang
menyulitkan pencabutannya. Apabila permasalahan tersebut ditambah adanya
resorpsi, maka tekanan yang berlebihan sebaiknya dihindari. Seperti pada
pencabutan semua gigi atas, digunakan pinch grasp dan telapak menghadap keatas.
a.
Pencabutan
gigi-gigi susu bawah
Untuk pencabutan gigi molar susu,
digunakan tang #151 dengan sling grasp. Seperti pada molar atas, biasanya gigi
ini mempunyai akar resorpsi yang divergen. Pertimbangan utama pada pencabutan
gigi susu adalah menghindari cedera pada gigi permanen yang sedang berkembang.
Misalnya, tang #23 (cowhorn), bukan merupakan pilihan yang cocok untuk molar bawah
susu. Apabila diperkirakan akan terjadi cedera selama pencabutan dengan tang,
sebaiknya direncanakan pembedahan dan pemotongan gigi susu. Resorpsi akar
menimbulkan masalah dalam menentukan apakah akar ini sudah keluar semuanya
ataukah belum. Apabila ada keraguan, sebaiknya dilakukan foto rontgen.
Sedangkan apabila pengambilan fraktur akar dianggap membahayakan gigi permanen
penggantinya, pencabutan gigi sebaiknya ditunda karena rasio manfaat/resiko
tidak menguntungkan.
b.
Gigi
molar susu yang ankilosis
Gigi molar bawah susu lebih sering
mengalami ankilosis/terbenam disbanding dengan yang diatas. Resorpsi akar
dianggap ikut menyebabkan terjadinya ankilosis. Oleh karena itu, gigi molar
susu dan gigi molar permanen yang terkena trauma sering mengalami ankilosis.
Ankilosis bias diperkirakan secara klinis dan dikonfirmasikan secara
radiografis atau sebaliknya. Tidak terlihatnya celah ligament periodontal, dan
fusi sementum dengan tulang alveolus yang nyata, merupakan perubahan
radiografis yang berhubungan dengan hal ini. Penemuan klinis adalah tidak
adanya mobilitas dan apabila diketuk akan timbul suara yang berbeda dengan
suara yang samar dari gigi normal. Gigi yang ankilosis biasanya dicabut secara
pembedahan, sering dengan memotong gigi dari tulang dengan menggunakan bur gigi
dan irigasi larutan salin steril.
II.5. Komplikasi
Pencabutan Gigi (11,12,13,14,15,16,17)
Berbicara masalah pencabutan gigi
tidak terlepas dari beberapa komplikasi normal yang menyertainya seperti
terjadinya perdarahan sesaat, oedem (pembengkakan) dan timbulnya rasa sakit.
Komplikasi sendiri merupakan kejadian yang merugikan dan timbul diluar
perencanaan dokter gigi. Oleh karena itu, kita selaku dokter gigi harus tetap
mewaspadai segala kemungkinan dan berusaha untuk mengantisipasinya sebaik
mungkin. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjutan dengan
resiko yang lebih besar pula. (11)
Adapun beberapa faktor penyebab
terjadinya komplikasi diantaranya karena kondisi sistemik dan lokal pasien lalu
keahlian, keterampilan dan pengalaman sang operator serta standar prosedur
pelaksanaan juga mempengaruhi. Berbagai komplikasi dapat terjadi, seperti: (11)
II.5.1.Perdarahan
(12)
Perdarahan mungkin merupakan komplikasi yang paling
ditakuti, karena oleh dokter maupun pasien dianggap dapat mengancam kehidupan.
Pasien dengan gangguan pembekuan darah sangatlah jarang ditemukan, kebanyakan
adalah individu dengan penhyakit hati, misalnya seorang alkoholik yang
menderita sirosis, pasien yang menerima terapi antikoagulan, atau pasien yang mengkonsumsi
aspirin dosis tinggi atau agen antiradang nonsteroid. Semua itu mempunyai
resiko perdarahan.
Pembedahan merupakan tindakan yang dapat mencetuskan
perdarahan, untuk penderita dengan kondisi yang normal, perdarahan yang terjadi
dapat ditangani. Hal yang berbeda dapat terjadi apabila pasien mengalami
gangguan sistem hemostasis, perdarahan yang hebat dapat terjadi dan sering
mengancam kelangsungan hidupnya.
Bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi kita
dihadapkan dengan kelainan hemostasis ringan sehingga dalam evaluasi pra bedah
tidak terdeteksi secara klinis. Kesulitan kemudian timbul setelah dilakukan
pembedahan, terjadi perdarahan selama ataupun sesudah pembedahan sehingga dapat
mengancam jiwa pasien. Oleh karenanya kelainan hemostasis sekecil apapun
sebaiknya diketahui sebelum tindakan bedah dikerjakan agar dapat dilakukan
persiapan dan pencegahan sebelumnya.
II.5.2.
Fraktur
(13,24,15)
a. Fraktur mahkota gigi
(13)
Selama pencabutan mungkin tidak
dapat dihindari bila gigi sudah mengalami karies atau restorasi besar. Namun
hal ini sering juga disebabkan oleh tidak tepatnya aplikasi tang pada gigi,
bilah tang di aplikasikan pada mahkota gigi bukan pada akar atau massa akar
gigi, atau dengan sumbu panjang tang yang tidak sejajar dengan sumbu panjang
gigi. Bila operator memilih tang dengan ujung terlalu lebar dan hanya
memberikan ‘kontak 1 titik’ gigi dapat pecah bila tang ditekan. Bila tangkai
tang tidak dipegang dengan kuat, ujung tas mungkin terlepas dari akar dan
mematahkan mahkota gigi. Terburu-buru biasanya merupakan penyebab dari semua
kesalahan, yang sebenarnya dapat dihindari bila operator bekerja sesuai metode.
Pemberia tekanan berlebihan dalam upaya mengatasi perlawanan dari gigi tidak
dianjurkan dan bisa menyebabkan fraktur mahkota gigi.
Bila fraktur mahkota gigi terjadi,
metode yang digunakan untuk mengambil sisa dari gigi bergantung pada banyaknya
gigi yang tersisa serta penyebab kegagalannya. Terkadang diperlukan aplikasi
tang atau elevator tambahan untuk mengungkit gigi dan metode pencabutan transalveolar.
b. Fraktur tulang alveolar
(14)
Dapat terjadi pada waktu pencabutan
gigi yang sukar. Bila terasa bahwa terjadi fraktur tulang alveolar sebaiknya
giginya dipisahkan terlebih dahulu dari tulang yang patah, baru dilanjutkan
pencabutan.
c. Fraktur tuberositas
maxillaris (14)
Terjadi pada waktu pencabutan gigi
molar tiga rahang atas. Perlu dihindari oleh karena tuberositas diperlukan
sebagai retensi pada pembuatan gIgi palsu.
d. Fraktur yang
bersebelahan atau gigi antagonis (13)
Fraktur gigi yang bersebelahan atau
gigi antagonis selama pencabutan dapat dihindari. Pemeriksaan praoperasi secara
cermat dapat menunjukkan apakah gigi yang berdekatan dengan gigi yang akan
dicabut telah mengalami karies, restorasi besar, atau terletak pada arah
pencabutan. Bila gigi yang akan dicabut adalah gigi penjangkaran, mahkota
jembatan harus dibelah dengan disk vulkarbo atau intan sebelum pencabutan. Bila
gigi sebelahnya terkena karies dan tambalannya goyang atau mengaung
(overhanging) maka harus diambil atau ditambal dengan tambalan sementara
sebelum dilakukan pencabutan. Tidak boleh diaplikasikan tekanan pada gigi yang
berdekatan selama pencabutan, dan gigi lainnya tidak boleh digunakan sebagai
fulcrum untuk elevator kecuali bila gigi tersebut juga akan dicabut pada
kunjungan yang sama.
Gigi antagonis bisa pecah atau
fraktur bila gigi yang akan dicabut tiba-tiba diberikan tekanan yang tidak
terkendali dan tang membentur gigi tersebut. Tekhnik pencabutan yang terkontrol
dapat mencegah kejadian ini.
e. Fraktur mandibula atau
maxilla (15)
Kondisi ini terjadinya fraktur
(patah tulang) yang tidak diharapkan dari bagian soket gigi, atau bahkan tulang
mandibula atau maksila tempat melekatnya tulang alveolar berada. Paling umum
terjadi dikarenakan kesalahan tehnik operator saat melakukan pencabutan gigi.
Oleh karena itu operator diharuskan memiliki tehnik yang benar dan bisa
memperhitungkan seberapa besar penggunaan tenaga saat mencabut gigi dan cara
menggunakan alat dengan tepat.
II.5.3.
Infeksi
(16)
Meskipun jarang terjadi, tapi hal ini jangan
dianggap sepeleh. Bila terjadi, dokter gigi dapat memberikan resep berupa antibiotik untuk
pasien yang beresiko terkena infeksi.
II.4.4.
Pembengkakan
(15,16)
Keadaan ini terjadi akibat perdarahan yang hebat
saat pencabutan gigi. Ini terjadi karena bermacam hal, seperti; kelainan sistemik
pada pasien. (21)

Gambar
5: pembengkakan
pasca pencabutan gigi (16)
II.5.5.
Dry socket
(16,17)
Kerusakan bekuan darah ini dapat
disebabkan oleh trauma pada saat ekstraksi (ekstraksi dengan komplikasi),
dokter gigi yang kurang berhati-hati, penggunaan kontrasepsi oral, penggunaan
kortikosteroid, dan suplai darah (suplai darah di rahang bawah lebih sedikit
daripada rahang atas). Kurangnya irigasi saat dokter gigi melakukan tindakan
juga dapat menyebabkan dry socket. Gerakan menghisap dan menyedot seperti
kumur-kumur dan merokok segera setelah pencabutan dapat mengganggu dan merusak
bekuan darah. (17)
Selain itu, kontaminasi bakteri
adalah faktor penting, oleh karena itu, orang dengan kebersihan mulut yang
buruk lebih beresiko mengalami dry socket paska pencabutan gigi. Demikian juga
pasien yang menderita gingivitis (radang gusi), periodontitis (peradangan pada
jaringan penyangga gusi), dan perikoronitis (peradangan gusi di sekitar mahkota
gigi molar tiga yang impaksi). (17)

Gambar 6: dry socket pasca ekstraksi (16)
II.5.6.
Rasa sakit
(13)
Rasa sakit pasca operasi akibat trauma jaringan
keras dapat berasal dari cederanya tulang karena terkena instrument atau bur
yang terlalu panas selama pembuangan tulang. Dengan mencegah kesalahan tekhnis
dan memperhatikan penghalusan tepi tulang yang tajam, serta pembersihan soket
tulang setelah pencabutan dapat menghilangkan penyebab rasa sakit setelah
pencabutan gigi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Bahan dan Alat :Bahan yang digunakan berupa Buku
Tahunan tentang Pencabutan Gigi di bagian Bedah Mulut RSGM FKG UNHAS periode
2005-2009, sedangkan Alat yang digunakan berupa pulpen dan kalkulator untuk
mencatat dan menghitung prevalensinya.
III.2.
Jenis Penelitian :
Observasional Deskriptif
III.3. Lokasi Penelitian : Bagian Bedah Mulut RSGM FKG UNHAS
III.4. Waktu Penelitian : 2 Minggu
III.5. Populasi Penelitian :Pasien dengan kasus Pencabutan Gigi di
Bagian
Bedah
Mulut RSGM FKG UNHAS
III.6. Metode Sampling : Total Sampling
III.7. Jumlah Sampel : 11.900 kasus
III.8. Definisi Operasional:
a. Prevalensi
pencabutan gigi adalah jumlah orang yang mengalami pencabutan gigi pada suatu
daerah dan waktu tertentu.
b. Pencabutan
gigi adalah suatu proses pengeluaran gigi dari alveolus, Pencabutan gigi juga merupakan operasi bedah
yang melibatkan jaringan bergerak dan jaringan lunak dari rongga mulut, akses
yang dibatasi oleh bibir dan pipi, dan selanjutnya dihubungkan/disatukan oleh
gerakan lidah dan rahang.
III.9.
Data:
a. Data
diperoleh melalui pemeriksaan pada Buku Catatan Tahunan tentang Pencabutan Gigi
di Bagian Bedah Mulut RSGM FKG UNHAS Periode 2005-2009.
b. Jenis
data adalah data sekunder.
c. Penyajian
data dalam bentuk tabel distribusi dan diagram batang
III.10.
Analisa Data:
Analisa data dilakukan secara deskriptif, yaitu
dengan membuat uraian secara sistematik dan menyajikannya ke dalam bentuk tabel
distribusi.
KERANGKA PIKIR
![]() |


![]() |
indikasi & kontra indikasi
![]() |
|||
![]() |

![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
BAGAN PENELITIAN
![]() |
|||
![]() |
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Bab ini menguraikan hasil penelitian tentang
Prevalensi Gigi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kadokteran Gigi
Universitas Hasanuddin Makassar, periode 2005-2009.
Penelitian ini merupakan suatu jenis penelitian
observasional deskriptif dengan tekhnik pengambilan sampel secara Total ampling
pada buku tahunan Pencabutan Gigi di bagian Bedah Mulut Rumah Sakit Gigi dan
Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar, periode
2005-2009. Data yang berhasil dikumpulkan sebanyak 11.900 kasus, yang kemudian
dikelompokkan berdasarkan 3 kriteria kedalam suatu bentuk tabel dan diagram
yang terdiri dari:
Tabel 1: Prevalensi Pencabutan Gigi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin berdasarkan Umur dan Jenis
Gigi, periode 2005-2009.
Tabel 2: Prevalensi Pencabutan Gigi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin berdasarkan Jenis Kelamin dan
Jenis Gigi, Periode 2005-2009
Pada tabel 1 memperlihatkan data tentang prevalensi
gigi impaksi berdasarkan umur dengan jumlah sampel sebanyak 11.900 orang. Data
tersebut terurai sebagai berikut:
1. Terdapat
2.763 (23,21%) kasus pada umur 12-21 tahun dengan jenis gigi:
a. 25
(0,90%) kasus untuk gigi Insisivus satu RA dan Insisivus dua RB
b. 39
(1,41%) kasus untuk gigi Insisivus satu RB
c. 45
(1,62%) kasus untuk gigi Insisivus dua RA
d. 11
(0,39%) untuk kasus gigi Caninus RA
e. 4
(0,14%) untuk kasus gigi Caninus RB
f. 456
(16,50%) untuk kasus gigi Premolar satu RA
g. 147
(5,32%) untuk kasus gigi Premolar satu RB
h. 200
(7,23%) untuk kasus gigi Premolar dua RA
i.
87 (3,14%) untuk kasus
gigi Premolar dua RB
j.
196 (7,09%) untuk kasus
gigi Molar satu RA
k. 1.177
(42,59%) untuk kasus gigi Molar satu RB
l.
16 (0,57%) untuk kasus
gigi Molar dua RA
m. 291
(10,53%) untuk kasus gigi Molar dua RB
n. 15
(0,54%) untuk kasus gigi Molar tiga RA
o. 29
(1,04%) untuk kasus gigi Molar tiga RB
2. Terdapat
3.250 (27,31%) kasus pada umur 22-31 tahun, dengan jenis gigi:
a. 67
(2,06%) untuk kasus gigi Insisivus satu RA
b. 10
(0,13%) untuk kasus gigi Insisivus satu RB
c. 36
(1,10%) untuk kasus gigi Insisivus dua RA
d. 17
(0,52%) untuk kasus gigi Insisivus dua RB
e. 15
(0,46%) untuk kasus gigi Caninus RA
f. 9
(0,27%) untuk kasus gigi Caninus RB
g. 331
(10,18%) untuk kasus gigi Premolar satu RA
h. 119
(3,66%) untuk kasus gigi Premolar satu RB
i.
159 (4,89%) untuk kasus
gigi Premolar dua RA
j.
210 (6,46%) untuk kasus
gigi Premolar dua RB
k. 216
(6,64%) untuk kasus gigi Molar satu RA
l.
1.011 (31,10%) untuk
kasus gigi Molar satu RB
m. 107
(3,29%) untuk kasus gigi Molar dua RA
n. 513
(15,78%) untuk kasus gigi Molar dua RB
o. 102
(3,13%) untuk kasus gigi Molar tiga RA
p. 328
(10,09%) untuk kasus gigi Molar tiga RB
3. Terdapat
1.699 (14,27%) kasus pada umur 32-41 tahun dengan jenis gigi:
a. 60
(3,53%) untuk kasus gigi Insisivus satu RA
b. 35
(2,06%) untuk kasus gigi Insisivus satu RB
c. 79
(4,64%) untuk kasus gigi Insisivus dua RA
d. 36
(2,11%) untuk kasus gigi Insisivus dua RB
e. 70
(4,12%) untuk kasus Caninus RA
f. 50
(2,94%) untuk kasus Caninus RB
g. 115
(6,76%) untuk kasus Premolar satu RA
h. 137
(8,06%) untuk kasus Premolar satu RB
i.
124 (7,29%) untuk kasus
Premolar dua RA
j.
154 (9,06%) untuk kasus
Premolar dua RB
k. 147
(8,65%) untuk kasus Molar satu RA
l.
172 (10,12%) untuk
kasus Molar satu RB
m. 134
(7,88%) untuk kasus Molar dua RA
n. 159
(9,35%) untuk kasus Molar dua RB
o. 88
(5,17%) untuk kasus Molar tiga RA
p. 139
(8,18%) untuk kasus Molar tiga RB
4. Terdapat
2.035 (17,10%) kasus pada umur 42-51 tahun dengan jenis gigi:
a. 144
(7,07%) kasus untuk Insisivus satu RA
b. 130
(6,38%) kasus untuk Insisivus satu RB
c. 134
(6,48%) kasus untuk Insisivus dua RA
d. 112
(5,50%) kasus untuk Insisivus dua RB
e. 158
(7,76%) kasus untuk Caninus RA
f. 163
(8,00%) kasus untuk Caninus RB dan Premolar satu RA
g. 124
(6,09%) kasus untuk Premolar satu RB
h. 111
(5,45%) kasus untuk Premolar dua RA
i.
120 (5,89%) kasus untuk
Premolar dua RB
j.
140 (6,87%) kasus untuk
Molar satu RA
k. 101
(4,96%) untuk kasus Molar satu RB
l.
152 (7,46%) untuk kasus
Molar dua RA
m. 116
(5,70%) untuk kasus Molar dua RB
n. 104
(5,11%) untuk kasus Molar tiga RA
o. 63
(3,09%) untuk kasus Molar tiga RB
5. Terdapat
1.360 (11,42%) kasus pada umur 52-61 tahun dengan jenis gigi:
a. 50
(3,67%) untuk kasus Insisivus satu RA
b. 97
(7,13%) untuk kasus Insisivus satu RB
c. 57
(4,19%) untuk kasus Insisivus dua RA
d. 107
(7,86%) untuk kasus Insisivus dua RB
e. 105
(7,72%) untuk kasus Caninus RA dan Premolar satu RA
f. 103
(7,57%) untuk kasus Caninus RB
g. 133
(9,77%) untuk kasus Premolar satu RB
h. 114
(8,38%) untuk kasus Premolar dua RA
i.
127 (9,33%) untuk kasus
Premolar dua RB
j.
98 (7,20%) untuk kasus
Molar satu RA
k. 52
(3,82%) untuk kasus Molar satu RB
l.
84 (6,17%) untuk kasus
Molar dua RA
m. 65
(4,77%) untuk kasus Molar dua RB
n. 35
(2,57%) untuk kasus Molar tiga RA
o. 28
(2,05%) untuk kasus Molar tiga RB
6. Terdapat
793 (6,66%) kasus pada umur 62-71 tahun dengan jenis gigi:
a. 44
(5,54%) untuk kasus gigi Insisivus satu RA dan RB
b. 49
(6,17%) untuk kasus gigi Insisivus dua RA dan Molar dua RA
c. 74
(9,33%) untuk kasus gigi Insisivus dua RB
d. 50
(6,30%) untuk kasus gigi Caninus RA
e. 103
(12,98%) untuk kasus gigi Caninus RB
f. 57
(7,18%) untuk kasus gigi Premolar satu RA
g. 88
(11,09%) untuk kasus gigi Premolar satu RB
h. 68
(8,57%) untuk kasus gigi Premolar dua RA
i.
57 (7,18%) untuk kasus
gigi Premolar dua RB
j.
45 (5,67%) untuk kasus
gigi Molar satu RA
k. 14
(1,76%) untuk kasus gigi Molar satu RB
l.
25 (3,15%) untuk kasus
Molar dua RB
m. 17
(2,14%) untuk kasus Molar tiga RA
n. 9
(1,13%) untuk kasus Molar tiga RB
Pada tabel 2 tersebut di perlihatkan data tentang
prevalensi Pencabutan Gigi berdasarkan jenis kelamin sebanyak 11.853 orang.
Data tersebut terurai sebagai berikut:
1. Terdapat
5.525 (46.61%) orang pada jenis kelamin laki-laki dengan jenis gigi:
a. 165
(3.07%) orang untuk gigi Insisivus satu RA
b. 90
(1.75%) orang untuk gigi Insisivus satu RB
c. 170
(3.16%) orang untuk gigi Insisivus dua RA
d. 115
(1.19%) orang untuk gigi Insisivus dua RB dan Molar dua RA
e. 145
(2.72%) orang untuk gigi Caninus RA
f. 160
(2.99%) orang untuk gigi Caninus RB
g. 575
(10.29%) orang untuk gigi Premolar satu RA
h. 355
(6.42%) orang untuk gigi Premolar satu RB
i.
315 (5.71%) orang untuk
gigi Premolar dua RA
j.
385 (6.94%) orang untuk
gigi Premolar dua RB dan Molar satu RA
k. 1.220
(21.63%) orang untuk gigi Molar satu RB
l.
745 (13.28%) orang
untuk gigi Molar dua RB
m. 185
(3.43%) orang untuk gigi Molar tiga RA
n. 400
(7.21%) orang untuk gigi Molar tiga RB
2. Terdapat
6.328 (53.39%) orang pada jenis kelamin perempuan dengan jenis gigi:
a. 278
(4.39%) orang untuk gigi Insisivus satu RA
b. 296
(4.67%) orang untuk gigi Insisivus satu RB
c. 270
(4.26%) orang untuk gigi Insisivus dua RA
d. 292
(4.61%) orang untuk gigi Insisivus dua RB
e. 300
(4.74%) orang untuk gigi Caninus RA
f. 320
(5.05%) orang untuk gigi Caninus RB
g. 722
(11.40%) orang untuk gigi Premolar satu RA
h. 438
(6.92%) orang untuk gigi Premolar satu RB
i.
372 (5.87%) orang untuk
gigi Premolar dua RA
j.
390 (6.16%) orang untuk
gigi Premolar dua RB
k. 444
(7.01%) orang untuk gigi Molar satu RA
l.
920 (14.53%) orang
untuk gigi Molar satu RB
m. 350
(5.53%) orang untuk gigi Molar dua RA
n. 456
(7.20%) orang untuk gigi Molar dua RB
o. 244
(3.85%) orang untuk gigi Molar tiga RA
p. 236
(3.72%) orang untuk gigi Molar tiga RB
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap
11.900 kasus Pencabutan Gigi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Hasanuddin, maka dapat diketahui prevalensi Pencabutan Gigi
berdasarkan umur, jenis kelamin dan jenis gigi.
Pada tabel 1 (Bab IV) memperlihatkan keadaan
prevalensi Pencabutan Gigi berdasarkan umur dan jenis giginya, dimana tampak
bahwa pada umur 12-21 tahun terdapat 2.763 kasus pencabutan gigi. Berarti
secara umum presentase kasus pencabutan gigi pada umur 12-21 tahun sebesar
23,21% dari 11.900 kasus yang telah diperiksa. Tetapi persentase ini kemudian
meningkat pada umur 22-31 tahun sebesar 27,31% dengan jumlah kasus pencabutan
gigi sebanyak 3.250 kasus pencabutan gigi. Sedangkan pada umur 32-41 tahun
jumlah kasus pencabutan gigi menurun menjadi 1.699 kasus dengan persentase
14,27% dari 11.900 kasus yang diperiksa. Kemudian persentase ini meningkat lagi
pada umur 42-51 tahun sebesar 17,10% dengan jumlah 2.035 kasus pencabutan gigi,
umur 52-61 tahun menurun lagi sebesar 11,42% dengan jumlah 1.360 kasus
pencabutan gigi, dan terus menurun pada kelompok umur 62-71 tahun sebanyak 793
kasus dengan persentase 6,66%.
Dari keterangan diatas dapat dilihat bahwa
prevalensi terbesar terdapat pada kelompok umur 22-31 tahun, dimana tingginya
insiden pada kelompok umur tersebut dapat dikaitkan dengan etiologi karies yang
merupakan faktor penyebab utama dalam pencabutan gigi. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian dari Linda C. Niessen
dan Robert J. Weyant yang meneliti penyebab kehilangan gigi pada populasi
kelompok umur 20-29 tahun. Hal ini mungkin terjadi akibat masih tingginya
insidens karies dalam masyarakat terutama jika pendidikan dan pengertian akan
pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi masih sangat kurang. Sebagian besar dari
pasien yang datang saat keadaan giginya sudah tidak mungkin lagi untuk
dipertahankan. (23,24)
Prevalensi terbesar kedua terdapat pada kelompok
umur 12-21 tahun, terutama pada kasus pencabutan gigi molar ketiga RB (kasus
impaksi), dimana tingginya insiden pada kelompok umur tersebut dapat dikaitkan
dengan telah erupsinya seluruh gigi geligi permanen. Sebagaimana kita ketahui
bahwa erupsi gigi molar tiga sebagai gigi yang terakhir bererupsi terdapat pada
umur 17-21 tahun, sehingga kemungkinan tidak cukupnya ruangan bagi molar tiga
untuk bererupsi dan mengakibatkan terjadinya impaksi pada kelompok umur ini
sangat besar. Saat erupsi, pasien biasanya belum menyadari adanya masalah
dengan gigi impaksi tersebut. (22,27)
Lebih rendahnya insiden pada umur 32-41 tahun jika
dibandingkan dengan umur 32-41 tahun dan turunnya insiden pada kelompok usia
52-61 tahun dan 62-71 tahun dimungkinkan karena pada kelompok umur tersebut
para pasien telah melakukan pencabutan gigi sebelumnya.
Pada tabel 2 memperlihatkan tentang prevalensi
pencabutan gigi berdasarkan jenis kelamin. Jumlah kasus pencabutan gigi pada
jenis kelamin laki-laki sebanyak 6.328 orang dengan presentase sebesar 46,61%,
sedangkan pada jenis kelamin perempuan sebanyak 6.328 orang dengan presentase
53,39%. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi pada jenis kelamin perempuan lebih
tinggi jika dibandingkan pada jenis kelamin laki-laki. Pencabutan pada
perempuan dikarenakan oleh karies yang lebih banyak dialami oleh kaum perempuan
dibanding laki-laki. hal ini disebabkan karena adanya faktor predisposisi
terjadinya karies yang dialami oleh perempuan tetapi tidak dialami oleh
laki-laki, yaitu faktor kehamilan. (24)
Pada diagram 1 dan 2 memperlihatkan prevalensi
pencabutan gigi tertinggi dari tiap-tiap kelompok umur dan jenis kelamin yang
terdapat pada jenis gigi Molar satu RB sebanyak 2.150 orang dengan presentase
18,13%. Kemudian pada gigi Premolar satu RA sebanyak 1.307 orang dengan
presentase 11,02%. Lalu berturut-turut pada gigi Molar dua RB terdapat 1.211
(10,21%), gigi Molar satu RA dengan 893 (7,07%), Premolar satu RB dengan 803
(6,77%), gigi Premolar dua RB dengan 785 (6,62%), gigi Premolar dua RA dengan
697 (5,88%), gigi Molar tiga RB dengan 646 (5,45%), gigi Caninus RB dengan 490
(4,13%), gigi Molar dua RA 475 (4%), gigi Caninus RA dengan 455 (3,83%), gigi
Insisivus RA dengan 453 (3,82%), gigi Insisivus dua RA 450 (3,79%), gigi Molar
tiga RA dengan 439 (3,70%), gigi Insisivus dua RB dengan 417 (3,59%), dan
terakhir pada gigi Insisivus satu RB dengan 396 (3,34%).
Prevalensi pencabutan tertinggi tedapat pada gigi
Molar satu RB, karena Molar satu RB ini merupakan gigi permanen yang paling
pertama erupsi, yakni pada saat anak berumur 6-7 tahun sehingga anak ini belum
berdisiplin dalam hal membersihkan gigi dan mulutnya, yang berdampak pada
kerusakan gigi tersebut sehingga orang tua anak menyangka bahwa Molar satu RB
belum merupakan gigi permanen dan masih dapat tergantikan bila rusak. Selain
itu, pencabutan untuk gigi Molar satu RB juga sama, yakni disebabkan oleh
karies. (25)
Kemudian dari hasil penelitian ditemukan bahwa
prevalensi tertinggi berikutnya setelah gigi Molar satu RB adalah terdapat pada
gigi Premolar satu RA. Hal ini
dikarenakan karena alasan orthodontik, dimana keputusan ahli orthodontik dalam
menentukan gigi mana yang akan dicabut berdasarkan beberapa pertimbangan antara
lain yaitu jumlah ruang yang dibutuhkan, keefktifan perawatan, estetik, kelas
maloklusi, dan keadaan patologi gigi geligi, sehingga ditentukan bahwa Premolar
satu RA sangat potensial dalam menyediakan jumlah ruangan yang cukup dalam
mengoreksi crowded dan protrusi. Keefektifan perawatan dengan pencabutan
Premolar satu RA telah terbukti dari perawatan klinik beberapa ahli karena
pencabutan Premolar satu RA tidak akan mengganggu estetik pasien. Gigi yang
dicabut untuk keperluan orthodontik biasanya diusahakan untuk memilih gigi yang
patologis dari yang sehat. Selain itu, pencabutan untuk Premolar satu RB dan
Premolar dua RA dan RB juga disebabkan oleh karena alasan orthodontik. (26)
Prevalensi
tertinggi berikutnya setelah gigi Premolar satu RA adalah terdapat pada gigi
Molar dua RB. Pencabutan gigi ini disebabkan oleh karena adanya penyakit
periodontal yang ditemukan tersebar pada gigi-gigi anterior dan posterior,
terutama pada gigi Molar dua RB. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Linda C. Niessen dan Robert J. Weyant juga menemukan bahwa
pencabutan dengan alasan periodontal yang lebih banyak ditemukan pada gigi
Anterior dan Molar dibandingkan yang ditemukan pada gigi Premolar. (23)
Prevalensi pencabutan pada gigi Molar tiga RB
disebabkan oleh karena impaksi. Mead melaporkan bahwa dari 581 gigi impaksi
yang ditelitinya, ditemukan 73,4% terjadi pada gigi Molar, dimana gigi impaksi
lainnya yaitu Caninus 13,9%, Premolar 4,6%, gigi Supernumerary 3,1% dan gigi
lainnya 0,3%. Prevalensi terjadinya impaksi pada Molar tiga hampir mencapai 4
kali lipat dari jumlah presentase terjadinya impaksi pada seluruh gigi. Pasien
biasanya datang mencari pengobatan bila merasa adanya gangguan. Gigi impaksi
yang paling sering menimbulkan komplikasi sehingga menyebabkan pasien merasa
terganggu adalah gigi Molar tiga RB. Dengan melihat kenyataan diatas, maka
dapat dipahami apabila pencabutan oleh karena impaksi hanya ditemukan oleh gigi
Molar tiga RB. (22,27)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada
Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin
Periode 2005-2009, maka dapat disumpalkan sebagai berikut:
1. Secara
umum, prevalensi pencabutan gigi pada Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin meningkat sesuai dengan pertambahan umur
yang dimulai dari umur 12-21 tahun dan mencapai titik tertinggi pada umur 22-31
tahun, kemudian menurun pada kelompok umur yang lebih tinggi antara umur 32-41
tahun, dan kembali meningkat pada kelompok umur 42-51 tahun, yang kemudian
kembali lagi menurun hinggga kelompok umur yang lebih tinggi, yaitu antara umur
62-71 tahun. Tingginya prevalensi pencabuta gigi pada kelompok umur 22-31 tahun
sebesar 3.250 kasus dengan presentase 27,31% dapat dikaitkan dengan telah
erupsinya seluruh gigi geligi permanen.
2. Prevalensi
pencabutan gigi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hasanuddin pada laki-laki sebesar 46,61% lebih rendah dari pada
perempuan yang mencapai 53,39%. Hal ini dihubungkan dengan adanya factor
predisposisi terjadinya karies yang dialami oleh perempuan tetapi tidak dialami
oleh laki-laki, yaitu factor kehamilan.
3. Insiden
tertinggi terjadinya pencabutan gigi terdapat pada jenis gigi Molar satu RB
dengan nilai prevalensi sebesar 18,13%. Hal ini disebabkan karena pada
pencabutan gigi Molar satu RB ini ditemukan banyak karies, yang kemudian diindikasikan
untuk dilakukan pencabutan gigi.
4. Faktor
umur dan jenis kelamin tidak memberikan cukup memberikan pengaruh yang besar
terhadap tindakan pencabutan gigi.
VI.2. Saran
1. Meningkatkan
kegiatan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut sedini mungkin kepada anak-anak
dan masyarakat umum akan pentingnya memelihara kesehatan gigi melalui
sekolah-sekolah, puskesmas setempat, serta Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin pada khususnya.
2. Meningkatkan
peranan dari Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Hasanuddin agar membantu menguraangi timbulnya masalah kesehatan gigi dan
mulut.
3. Meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk memelihara kesehatan gigi dan mulut dengan
menggunakan sebaik-baiknya sarana kesehatan yang telah disediakan oleh
pemerintah setempat, termasuk Rumah Sakit Gigi dan Mulut Gakultas Kedokteran
Gigi Universitas Hasanuddin Makassar.
DAFTAR PUSTAKA
1. PDGI
Online. Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi. 2010. Available from: http://www.perdarahan-pasca-ekstraksi-gigi.htm.
Accessed: 28 Oktober 2010.
2. Blog
Uttu. Pencabutan Gigi atau Exodontia. 2010. Available from: http://www.pencabutan-gigi.com.
Accessed: 19 Oktober 2010.
3. Setengah
Baya Info. Bedah Flap Pada Proses Pencabutan Gigi. 2010. Available from: http://www.bedah-flap-pada-proses-pencabutan-gigi.htm.
Accessed: 17 Oktober 2010.
4. Blog
Nina. Thalasemia dan Ekstraksi Gigi. 2009. Available from: http://www.thalasemia-dan-ekstraksi-gigi.html.
Accessed: 29 Oktober 2010.
5. Tooth
and Teeth. Tooth Extractioan. 2010. Available from: http://www.toothandteeth.com.
Accessed: 5 November 2010.
6. Blog
Ulin. Kapan Gigi Harus Dicabut. 2009. Available from: http://www.kapan-gigi-harus-dicabut.html.
Accessed: 22 Oktober 2010.
7. Animated Teeth. Tooth Extractions. 2010.
Available from: http://www.animated-teeth.com.
Accessed: 22 Oktober 2010.
8. Robinson
D. Paul. Tooth Extraction. Wright, Oxford Aucland Boston Johannes Burg
Melbourne New Delhi . 2005, pp: 2.
9. Peterson
J. Larry. Oral and Maxillofacial Surgery. 4th ed, The C.V. Mosby
Company, St. Louis, 2003, pp: 116-117.
10. Pederson
W. Gordon. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. 1st ed, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta, 1996, pp: 36-44, 60.
11. Blog
Riwan. Komplikasi Pencabutan. 2007. Available from: http://www.martariwansyah.com.
Accessed: 9 November 2010.
12. PSMKGI.
Penanganan Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi. 2007. Available from: http://www.penanganan-perdarahan-pasca-ekstraksi-gigi.htm.
Accessed: 14 Oktober 2010.
13. Howe
L. Geoffrey. Pencabutan Gigi Geligi. Edisi Ketiga Revisi. Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta, 1999, pp: 83-90.
14. Tanya
Pepsodent. Komplikasi Pencabutan Gigi. 2010. Available from: http://www.komplikasi-pencabutan-gigi.htm.
Accessed: 19 Oktober 2010.
15. Blog
Syafakallah. Cabut Gigi. 2008. Available from: http://www.cabut-gigi.htm.
Accessed: 2 November 2010.
16. Wikipedia.
Dental extraction. 2010. Available from: http://www.wikipedia.com.
Accessed: 8 November 2010.
17. Cpddokter.
Dry Socket. 2010. Available from: http://www.cpddokter.com.
Accessed: 23 Oktober 2010.
18. Archer,
W.Harry. Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. Saunders Company.
Philadelphia. 1975. pp: 16-17
19. Brown
L.J, Oliver R.C, Loe. H. Periodontal Disease in the US in 1981. Dalam: Journal
of Periodontology. Vol.60 No.7. American Academi of Periodontology. 1989. pp:
363-370.
20. Carranza
A.F. Tooth Mobility and Pathologic. Dalam: Glickman’s Clinical Periodontology.
7th. W.B. Saunders, Philadelphia. 1984. pp: 283-290.
21. Cawson
R.A. Essential of Dental Surgery and Phatology. 4th ed. Churchil
Livingstone, London. 1984. pp: 76-114, 143-158
22. Mac.
Gregor A.J. The Impacted Lower Wisdom Tooth. Oxford University Press, 1985. pp:
1-46
23. Niessen
C.L, Weyant R.J. Cause of Tooth Loss in a Veteran Population. Dalam: Journal of
Public Health Dentistry. Vol.49 No.1. 1989. pp: 19-22
24. Schurs
H.B. Patologi Gigi Geligi, Kelainan-kelainan Jaringan Keras Gigi. Gajah Mada
University Press. pp: 134-162
25. Nikiforuk.G.
Understanding Dental Caries, Etiology and Mechanism Basic and Clinical Aspects,
Karger, S.Karger. 1985. pp: 61-81
26. Profit
W.R, Fields W.F. Contemporary Orthodontics. The C.V. Mosby Company. London.
1986. pp: 134-162
27. Tetsch
P, Wagner W. Operative Extraction of Wisdom Teeth. Wolfe Medical Publication
Ltd. Berlin. 1982. pp: 9-55